Rabu, 27 Agustus 2014

Secuil Cerita tentang AEC - Asean Economic Community






Di sebuah RT di Asia Tenggara hiduplah 10 anak yang rumahnya berdekatan. Karena kemiripan nasib dan berbagai hal, mereka membentuk kelompok bermain bernama ASEAN. Beberapa anak masih belum lama bergabung, namun tidak masalah. Toh permainan masih tetap menyenangkan.

Setiap anak di kelompok ini memiliki karakter yang unik. Singapura yang mungil namun brilian adalah yang paling mencolok di antara anak-anak, bahkan terkenal hingga dusun sebelah. Ada Malaysia yang periang dan suka ribut dengan tetangga. Si Indonesia, anak paling besar di kelompok itu, cukup kaya dan kuat namun minder. Si kaya dan bersahaja Brunei Darussalam, anak idaman keluarga. Berjarak beberapa rumah ada Thailand yang bebas dan mudah bergaul. Ngomong-ngomong, dia suka cerita hantu. 

Filipina yang bertemperamen dan energik juga mengisi keanekaragaman karakter di daerah itu. Di sisi lain ada beberapa anak dengan sifat agak misterius. Laos dan Kamboja seperti sahabat akrab. Mereka sama-sama baik, cinta damai, namun bakal mengamuk kalau diganggu atau diremehkan. Di sebelahnya adalah anak bernama Vietnam. Tipe yang bersih dan damai, sampai si bengis Amerika datang mengganggu. AKibatnya, Vietnam dan tetangganya kacau balau. Terjadi gejolak dalam rumah tangga. Namun Vietnam tetap kuat. Satu lagi adalah Myanmar. Gejolak rumah tangga juga baru saja terjadi di rumahnya. Untungnya Myanmar berhasil bertahan. Dia adalah anak yang lucu.

Alih-alih menganggapnya sebagai kesempatan untuk membuktikan diri, Indonesia justru tenggelam dalam pikiran kalau dia bakal kalah bersaing dengan teman-temannya

Kelompok bermain ASEAN memberikan dampak baik bagi anak-anak itu. Mereka menemukan teman, bermain bersama, kemudian melakukan hal menyenangkan lainnya. Apabila satu anak susah, anak lainnya akan membantu. Setiap anak umumnya merasa senang dengan kelompok ASEAN.

Kesenangan tidak berlangsung lama ketika anak-anak dari dusun lain berbondong-bondong ke area main ASEAN. Mereka menyebutnya globalisasi. Anak dusun lain itu bermain pekarangan Indonesia, berkunjung ke rumah Thailand untuk senang-senang, bermain bisnis dengan Singapura, dan seterusnya. Pada awalnya anak-anak ASEAN ini merasa senang. Teman main mereka bertambah. Anak-anak dari dusun lain menunjukkan permainan modern dan berjanji akan mengajarkannya.

Semakin lama ternyata rasa resah yang muncul dari anak-anak ASEAN. Tempat mereka diganggu. Orang-orang di rumah mulai risih dengan kedatangan anak luar. Sebagian anak dusun lain mengambil barang dari pekarangan. Pokoknya sesuatu yang membuat rugi. Untungnya anak-anak ASEAN itu sangat kompak. Mereka langsung mencari cara untuk mencegah rasa tidak enak tersebut.

Dengan efek globalisasi yang masih tersisa, anak-anak tersebut menamakan diri mereka ASEAN Community. Versi modern dari perkumpulan sebelumnya. Langkah pertama adalah AEC - Asean Economic Community. Mereka telah bertekad untuk saling membantu dengan dengan asas kebebasan akses. Jadi Myanmar boleh menaruh mainan di Singapura disertai hubungan timbal baliknya. Singapura bisa membantu Laos dalam keuangan. Demikian seterusnya. Sebagian besar anak-anak menganggap itu ide yang bagus.

Walaupun setuju di mulut, Indonesia yang minder mulai pusing di pikirannya. Dia takut, "Kalau aku memberi mainan ke Malaysia, apa ia akan menggunakannya?", "Orang-orang di rumah tidak bisa bersaing dengan para tetangga", dan seterusnya. Alih-alih menganggapnya sebagai kesempatan untuk membuktikan diri, Indonesia justru tenggelam dalam pikiran kalau dia bakal kalah bersaing dengan teman-temannya. Kalau sudah begini, tidak ada yang bisa menolong.

1 komentar:

  1. Suka!!! Dapet banget analoginya ������

    BalasHapus